Tuesday, 16 September 2025

Tantangan Baru Kepolisian Suriah saat Tindak Kriminalitas Meningkat


Beberapa wilayah di Suriah kini mengalami lonjakan kriminalitas yang signifikan, terutama sejak runtuhnya rezim Assad. Kepolisian baru di bawah pemerintahan Presiden Ahmed Al Sharaa dihadapkan pada tantanganbyang sifatnya transisi.

Provinsi seperti Daraa menjadi salah satu titik paling terdampak, dengan insiden kekerasan yang meningkat antara kelompok bersenjata lama dan warga sipil. Fenomena ini tidak hanya berkaitan dengan persaingan politik, tetapi juga masalah sosial dan ekonomi yang muncul pasca-konflik.

Salah satu penyebab utama meningkatnya kriminalitas adalah eks tentara rezim Assad yang menganggur. Setelah runtuhnya struktur militer, banyak mantan anggota tentara kehilangan pekerjaan dan sumber penghidupan. Kondisi ini mendorong sebagian dari mereka masuk ke dunia kriminal sebagai gangster lokal, memanfaatkan pengalaman militer dan jaringan lama mereka untuk merampok, memeras, dan menguasai wilayah tertentu.

Selain itu, mantan pemberontak yang sebelumnya berperang melawan rezim kini menjadi sumber konflik baru. Setelah perjanjian damai atau rekonsiliasi, beberapa mantan komandan pemberontak membawa dendam lama terhadap sesama eks pejuang. Persaingan ini sering kali berubah menjadi perkelahian bersenjata, terutama di daerah-daerah yang memiliki senjata berlimpah.

Fenomena kekerasan ini juga diperparah oleh aksi sabotase oleh intelijen Israel, SDF, milisi Druze Al Hajri pro Israel yang kerap menargetkan infrastruktur lokal, seperti jaringan air, listrik, dan fasilitas publik. Sabotase tidak hanya merusak ekonomi lokal, tetapi juga memicu ketegangan antar-komunitas, karena sering muncul tuduhan saling menyalahkan antar kelompok bersenjata atau warga sipil yang tersisa.

Kota Tafas di barat laut Daraa menjadi contoh nyata dari situasi ini. Dalam beberapa hari terakhir, terjadi bentrokan intra-keluarga yang menewaskan tiga orang, termasuk dua bersaudara yang juga mantan komandan pemberontak yang tidak bergabung dengan pemerintahan baru. Ironisnya, mereka sebelumnya telah melakukan rekonsiliasi pada pertengahan 2018, tetapi perselisihan lama kembali memicu kekerasan.

Lonjakan kriminalitas di Daraa dan sekitarnya menunjukkan bagaimana proliferasi senjata pasca-perang meningkatkan risiko kekerasan. Senjata yang tersimpan di rumah atau dikuasai kelompok militan lokal membuat konflik kecil berubah menjadi tragedi berdarah dengan cepat.

Kondisi ekonomi yang buruk juga memperburuk situasi. Banyak warga kehilangan pekerjaan dan akses terhadap sumber daya dasar, sehingga kejahatan jalanan dan perampokan dan pemerasan meningkat. Mantan tentara dan pemberontak yang tidak memiliki penghasilan tetap menjadi aktor utama dalam gelombang kriminalitas ini.

Kesenjangan antara wilayah yang telah stabil dengan yang masih rawan kekerasan menjadi jelas. Beberapa kota di Suriah tengah menikmati pemulihan ekonomi ringan, tetapi provinsi seperti Daraa, Idlib, dan Deir ez-Zor masih mengalami ketidakpastian keamanan yang tinggi.

Mantan komandan pemberontak yang memiliki jaringan loyalis sendiri kini bersaing dengan kelompok bersenjata baru, menciptakan fragmentasi kekuasaan lokal. Situasi ini menambah kompleksitas bagi upaya pemerintah pusat untuk menegakkan hukum dan stabilitas.

Kejadian di Tafas menyoroti sisi tragis dari fenomena ini: konflik bukan hanya antar-kelompok, tetapi juga antar keluarga yang dulunya bersatu. Hal ini menunjukkan dampak sosial jangka panjang perang, di mana dendam dan konflik lama tetap membara meski secara resmi telah ada rekonsiliasi.

Beberapa analis menilai bahwa situasi ini mirip di negara yang sedang mengalami trasisi. Adanya penguasa lokal yang mengendalikan keadaan selain pemerintahan resmi membuat kondisi semakin tidak stabil, di mana kekuasaan lokal dikendalikan mantan militan dan tentara daripada otoritas resmi. Kondisi ini mempersulit pengawasan hukum dan penegakan keamanan.

Selain faktor internal, campur tangan eksternal juga memengaruhi lonjakan kriminalitas. Ada laporan bahwa kelompok asing, baik dari Israel maupun Lebanon atau jaringan kriminal lintas batas kadang memanfaatkan kekacauan untuk kegiatan ilegal, termasuk perdagangan senjata dan narkotika.

Pemerintah lokal dan internasional telah mencoba menurunkan tingkat kekerasan dengan membentuk unit keamanan komunitas, tetapi efektivitasnya masih terbatas. Banyak unit keamanan yang masih kekurangan personel, perlengkapan, dan legitimasi di mata warga lokal.

Krisis hukum juga muncul karena pengadilan lokal sering tidak berfungsi atau dikuasai oleh mantan komandan bersenjata. Warga yang menjadi korban kekerasan kadang sulit mendapatkan keadilan, sehingga balas dendam pribadi semakin marak.

Masyarakat sipil di wilayah terdampak kini hidup dalam ketidakpastian. Kegiatan sehari-hari terganggu oleh ancaman kekerasan, dan banyak keluarga memilih untuk meninggalkan rumah atau menjaga diri secara mandiri.

Beberapa kelompok bantuan internasional mencoba memberikan dukungan, terutama dalam bentuk pendidikan dan bantuan sosial, tetapi situasi keamanan yang rapuh membatasi akses ke wilayah tertentu.

Analis menyebutkan bahwa integrasi mantan tentara dan pemberontak ke kehidupan sipil menjadi salah satu kunci mengurangi kriminalitas. Program pelatihan kerja, rekonsiliasi berkelanjutan, dan pengawasan senjata bisa membantu mengurangi potensi konflik.

Fenomena kriminalitas pasca-konflik ini juga menyoroti pentingnya rekonsiliasi jangka panjang. Tanpa upaya berkelanjutan untuk membangun kepercayaan antar kelompok, kekerasan kecil bisa meletus menjadi konflik bersenjata baru.

Beberapa pengamat mengingatkan bahwa situasi Daraa dan wilayah sekitarnya bisa menjadi indikator nasional. Jika kriminalitas tidak ditangani, efeknya bisa menyebar ke provinsi lain dan mengancam stabilitas Suriah secara keseluruhan.

Kondisi ini menekankan bahwa akhir perang tidak selalu berarti perdamaian. Sisa-sisa konflik lama, proliferasi senjata, dan ketidakstabilan ekonomi dapat menciptakan lingkaran kekerasan baru yang sulit diputus.

Dengan demikian, lonjakan kriminalitas di Suriah pasca-perang merupakan gabungan faktor sosial, ekonomi, dan sejarah konflik. Eks tentara Assad, mantan pemberontak, dan sabotase menjadi aktor utama dalam gelombang kekerasan yang terus meningkat, menuntut solusi yang menyeluruh dari pemerintahan baru dan komunitas internasional.

No comments:

Post a Comment

FREE WORLDWIDE SHIPPING

BUY ONLINE - PICK UP AT STORE

ONLINE BOOKING SERVICE