Sejarah modern banyak negara menunjukkan bahwa pengaturan wilayah yang semi-otonom sering menjadi tantangan besar bagi persatuan nasional. Di Pakistan, wilayah FATA (Federally Administered Tribal Areas) pernah berdiri sebagai kawasan semi-otonom yang langsung dikendalikan pemerintah federal melalui Frontier Crimes Regulations (FCR). FATA terdiri dari tujuh tribal agencies dan enam frontier regions, dengan kepala distrik yang disebut Political Agent yang mengatur administrasi, keamanan, dan hukum adat.
Sistem ini membuat FATA unik, tetapi juga tertinggal dari segi pembangunan. Integrasi ke provinsi Khyber Pakhtunkhwa pada 2018 menandai berakhirnya status semi-otonom, dengan FATA berubah menjadi distrik biasa. Penghapusan FCR diganti dengan hukum nasional Pakistan, wakil rakyat kini memiliki kursi di Majelis Nasional dan provinsi, sementara pembangunan infrastruktur dan layanan publik mulai merata ke wilayah sebelumnya tertinggal.
Namun integrasi bukan tanpa tantangan. Masyarakat suku Pashtun yang terbiasa dengan hukum adat merasa kehilangan identitas lokal, sementara aparat provinsi harus menyesuaikan diri dengan budaya dan sistem lama. Meski demikian, langkah ini dianggap penting untuk persatuan nasional, hukum yang merata, serta keamanan yang lebih stabil di timur laut Pakistan.
Di sisi lain, India juga memiliki wilayah dengan otonomi khusus, yaitu union territory. Beberapa contoh seperti Ladakh dan Delhi memiliki administrasi sendiri tetapi tetap diawasi pusat. Mirip dengan FATA, union territory memiliki pemerintahan lokal terbatas, tetapi keputusan strategis penting tetap dikendalikan pemerintah pusat. Berbeda dengan FATA, beberapa union territory memiliki legislatif terbatas, seperti Delhi, sementara Ladakh sepenuhnya administrasi federal.
Fenomena serupa juga terlihat di Suriah timur laut, di mana SDF (Syrian Democratic Forces) menguasai wilayah luas dengan struktur pemerintahan setara mini-negara. SDF memiliki perdana menteri regional, dewan legislatif, administrasi sipil, dan pasukan militer sendiri. Dalam hal ini, SDF lebih mirip negara dalam negara, sementara FATA dan union territory lebih bersifat administratif.
SDF juga mengembangkan sistem region atau kanton, mirip model Bosnia-Herzegovina. Wilayah-wilayah seperti Jazira, Eufrat, Raqqa, dan Tabqa memiliki perdana menteri regional, wakil, serta dewan legislatif lokal. Mereka menjalankan hukum dan kebijakan sendiri, sekaligus bernegosiasi dengan pemerintah Suriah untuk integrasi politik di masa depan.
Dalam sejarah Indonesia, konsep serupa muncul saat Republik Indonesia Serikat (RIS) berdiri pasca-kemerdekaan. RIS adalah federasi dengan negara bagian yang memiliki pemerintah sendiri, legislatif, dan kepala pemerintahan, namun tetap berada dalam kerangka federal. Beberapa wilayah yang eksklusif atau eks-koloni Belanda dikelola langsung pusat, mirip dengan union territory atau FATA.
Wilayah kecil seperti Negara Indonesia Timur (NIT) atau Negara Sumatera Timur memiliki legislatif dan kepala pemerintahan sendiri, tapi militer tetap dikendalikan pusat. Konsep ini menunjukkan bahwa federasi memungkinkan negara bagian otonom, tetapi integrasi pusat tetap penting untuk stabilitas.
India dan Pakistan pada awal kemerdekaan juga memiliki Princely States, wilayah yang dipimpin raja, nawab, atau sultan di bawah protektorat Inggris. Princely states memiliki kekuasaan internal tetapi pengakuan Inggris menjadikannya semi-otonom. Integrasi dilakukan melalui Instrument of Accession, menyatukan ratusan princely states ke negara modern.
Pembubaran princely states di India dimaksudkan untuk menciptakan persatuan nasional, standarisasi hukum dan administrasi, serta stabilitas keamanan. Di Pakistan, princely states seperti Bahawalpur, Khairpur, dan Swat digabung ke provinsi Sindh, Punjab, dan Khyber Pakhtunkhwa. Tujuannya agar pembangunan, hukum, dan militer berada di bawah kendali federal.
Keuntungan pembubaran ini termasuk persatuan nasional, hukum dan administrasi seragam, kontrol militer terpadu, serta pembangunan lebih merata. Wilayah-wilayah sebelumnya terkucil kini bisa menikmati pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang lebih baik.
Namun pembubaran princely states juga menimbulkan kekurangan. Banyak elit dan masyarakat lokal kehilangan identitas politik dan kedaulatan adat. Distribusi pembangunan awal terkadang timpang karena provinsi baru harus menyesuaikan wilayah eks-kerajaan dengan standar nasional.
Beberapa pengamat menyebut kemiskinan di sebagian daerah India dan Pakistan terkait lambatnya pembangunan pasca-integrasi, tapi tidak semata-mata karena pembubaran kerajaan. Wilayah mantan princely states yang makmur, seperti Mysore di India atau Bahawalpur di Pakistan, justru berkembang pesat setelah integrasi.
Integrasi FATA, union territory, SDF, RIS, dan princely states menunjukkan dilema antara otonomi lokal dan kontrol pusat. Setiap langkah membawa keuntungan dari sisi stabilitas, hukum, dan pembangunan, tetapi juga memunculkan resistensi lokal dan tantangan adaptasi.
FATA yang menjadi distrik biasa di Khyber Pakhtunkhwa kini sepenuhnya mengikuti hukum dan administrasi provinsi. Union territory di India tetap menjadi contoh wilayah semi-otonom administratif, sementara SDF menunjukkan bagaimana de facto negara dalam negara bisa terbentuk.
RIS dan pembubaran princely states menjadi pelajaran sejarah bahwa federasi atau integrasi wajib dilakukan untuk menciptakan negara modern yang bersatu, walau menghadapi tantangan budaya dan identitas lokal.
SDF di Suriah, walaupun memiliki struktur pemerintahan mirip mini-negara, tetap harus bernegosiasi dengan pemerintah pusat untuk integrasi politik dan keamanan, mirip tantangan integrasi princely states ke India dan Pakistan.
Kesimpulannya, berbagai contoh ini menegaskan bahwa semi-otonomi dan integrasi pusat adalah keseimbangan rumit antara hak lokal, hukum nasional, pembangunan, dan keamanan. Model yang berhasil membutuhkan adaptasi hukum, militer, dan politik, sambil mempertahankan identitas budaya masyarakat setempat.
Integrasi wilayah seperti FATA ke Khyber Pakhtunkhwa atau pembubaran princely states tetap menjadi strategi penting untuk mencapai stabilitas jangka panjang. Meski menghadapi tantangan, langkah ini membuka jalan bagi pembangunan yang lebih merata dan persatuan nasional yang kuat.
Dengan melihat pengalaman FATA, SDF, union territory, RIS, dan princely states, dapat disimpulkan bahwa negara modern yang stabil membutuhkan integrasi wilayah dan hukum, meski otonomi lokal tetap penting untuk identitas dan keberlangsungan budaya masyarakat.
Integrasi bukan hanya soal administrasi, tapi juga soal politik, militer, dan ekonomi, sehingga setiap wilayah perlu dirancang dengan cermat agar manfaat pembangunan dan keamanan bisa dirasakan semua pihak.
No comments:
Post a Comment