Fenomena algoritma media sosial yang semakin nyeleneh menjadi sorotan banyak pengguna di Indonesia. Konten-konten yang bermaksud lucu-lucuan justru sering melampaui batas dan akhirnya viral, meski tidak memberi manfaat apa pun. Tidak sedikit warganet luar negeri yang kemudian beranggapan bahwa pengguna media sosial Indonesia memiliki tingkat intelektual rendah karena sering mengangkat hal-hal remeh sebagai tren.
Masalah ini sesungguhnya berakar pada bagaimana algoritma media sosial bekerja. Mesin rekomendasi tidak membaca kualitas isi, melainkan fokus pada interaksi. Semakin banyak yang menonton, memberi tanda suka, atau berkomentar, semakin besar peluang konten itu didorong ke lini masa orang lain. Akibatnya, konten nyeleneh lebih cepat menjalar daripada konten yang bermutu.
Untuk mengatasi hal ini, langkah pertama yang bisa dilakukan pengguna adalah tidak memberikan reaksi apa pun terhadap konten yang tidak bermanfaat. Dengan tidak memberi tanda suka maupun komentar, kita ikut mengurangi daya dorong algoritma terhadap konten tersebut. Semakin sedikit interaksi, semakin kecil peluang konten itu direkomendasikan ke pengguna lain.
Memang ada fitur blokir atau opsi “jangan rekomendasikan channel ini” di sejumlah platform. Namun, karena jumlah konten serupa sangat banyak, pengguna sering merasa kewalahan. Alih-alih menghabiskan waktu untuk memblokir satu per satu, strategi yang lebih efektif adalah memperkuat sinyal positif kepada algoritma dengan mengikuti akun-akun berkualitas.
Mengikuti akun yang bermanfaat akan memberi arah baru pada rekomendasi algoritma. Jika lebih sering berinteraksi dengan konten pendidikan, agama, atau informasi resmi, maka mesin rekomendasi akan menampilkan lebih banyak konten serupa. Dengan cara ini, lini masa bisa lebih sehat tanpa harus repot memblokir ribuan akun yang tidak berguna.
Sebagai contoh, akun organisasi besar seperti Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) atau Liga Muslim Dunia bisa menjadi rujukan yang bernilai. Konten mereka tidak hanya informatif, tetapi juga menambah wawasan global tentang isu-isu dunia Islam. Hal ini membantu pengguna tetap terhubung dengan informasi penting yang biasanya luput dari sorotan media arus utama.
Selain itu, mengikuti akun resmi presiden, DPR, kementerian, dan lembaga pemerintahan dapat memperkaya lini masa dengan kebijakan dan informasi terkini. Masyarakat akan lebih mudah mengetahui program negara dan perkembangan politik, tanpa harus bergantung pada rumor yang beredar di grup-grup pesan instan.
Tidak kalah penting, akun-akun keagamaan seperti MUI, NU, Muhammadiyah, serta tokoh-tokoh Islam nasional bisa memberi pencerahan dan bimbingan moral. Kehadiran konten religius di lini masa akan menjadi penyeimbang dari derasnya arus hiburan semata. Dengan demikian, media sosial tidak hanya berfungsi sebagai tempat bersenda gurau, tetapi juga ruang pembelajaran.
Kesadaran untuk tidak mengikuti akun penyebar hoaks juga sangat penting. Akun semacam itu sering menggunakan teknik cuci otak untuk menggiring opini publik. Jika dibiarkan, mereka tidak hanya mengotori lini masa, tetapi juga bisa mengacaukan pola pikir pengguna.
Langkah kolektif ini harus dibarengi dengan kesadaran pribadi. Tidak semua konten viral layak diikuti, apalagi dijadikan konsumsi harian. Dengan memilih interaksi yang lebih sehat, pengguna ikut menciptakan ekosistem digital yang bermanfaat bagi diri sendiri maupun masyarakat luas.
Memang, sepenuhnya mengendalikan algoritma bukanlah hal yang mudah. Namun, dengan konsistensi dalam memilih interaksi, lambat laun algoritma akan menyesuaikan. Platform digital bekerja dengan data perilaku pengguna, dan data tersebut bisa diarahkan ke hal-hal positif jika digunakan dengan bijak.
Fenomena ini juga memberi pelajaran bahwa masyarakat Indonesia perlu lebih cerdas digital. Literasi media sosial bukan sekadar tahu cara menggunakan aplikasi, tetapi juga memahami dampak setiap klik, komentar, dan tanda suka. Kecerdasan digital inilah yang menjadi benteng dari arus informasi yang tidak bermanfaat.
Pemerintah bersama lembaga masyarakat dapat berperan dalam memberikan edukasi digital. Program literasi media perlu diperluas agar masyarakat sadar bahwa lini masa mereka adalah cerminan pilihan mereka sendiri. Jika terus memberi makan algoritma dengan konten ringan dan nyeleneh, maka itulah yang akan kembali ditampilkan.
Lembaga pendidikan juga bisa menanamkan kesadaran sejak dini tentang pentingnya memilih konten bermutu. Generasi muda yang akrab dengan dunia digital sebaiknya diarahkan untuk menjadikan media sosial sebagai ruang kreatif dan produktif, bukan sekadar hiburan kosong.
Para tokoh publik, baik politisi, akademisi, maupun pemuka agama, perlu lebih aktif hadir di media sosial. Kehadiran mereka akan menambah variasi konten positif, sekaligus memberi contoh bahwa media sosial bisa digunakan untuk hal-hal serius dan membangun.
Pada akhirnya, yang menentukan isi lini masa bukan semata-mata algoritma, tetapi pilihan pengguna sendiri. Jika masyarakat konsisten memilih untuk tidak berinteraksi dengan konten nyeleneh, maka ruang untuk konten bermutu akan semakin luas.
Fenomena pengguna luar negeri yang menilai rendah IQ masyarakat Indonesia sebenarnya bisa menjadi alarm peringatan. Kritik itu seharusnya memacu kesadaran bersama bahwa media sosial adalah wajah bangsa di dunia maya. Konten yang ditampilkan akan membentuk citra kolektif.
Dengan membangun kesadaran kolektif, masyarakat Indonesia bisa mengubah wajah media sosial menjadi lebih cerdas, informatif, dan membanggakan. Langkah sederhana seperti tidak mengklik konten remeh dan lebih aktif mengikuti akun bermanfaat bisa membawa perubahan besar.
Menyeimbangkan algoritma media sosial memang membutuhkan kerja sama antara pengguna, pemerintah, dan komunitas. Namun, kunci utamanya ada pada kesadaran individu. Setiap klik adalah pilihan, dan setiap pilihan akan menentukan wajah media sosial di masa depan.
Jika masyarakat konsisten dalam memilih, algoritma yang nyeleneh akan perlahan terpinggirkan. Media sosial pun bisa kembali menjadi ruang interaksi yang sehat, bermanfaat, dan mencerminkan kecerdasan bangsa.
No comments:
Post a Comment