Wednesday, 17 September 2025

Road Map Suwaida Sarat Jebakan untuk Pemerintah Suriah

Pemerintah Suriah kembali menghadapi tekanan diplomatik melalui sebuah “road map” yang disepakati dalam pertemuan tiga pihak di Damaskus antara Menteri Luar Negeri Suriah Asaad Hassan al-Shaibani, Menlu Yordania Ayman Safadi, dan Utusan Khusus AS untuk Suriah Thomas Barrack. Peta jalan yang diklaim bertujuan menyelesaikan krisis di Suwaida itu, justru memunculkan tanda tanya besar mengenai keseimbangan tanggung jawab.

Meski dokumen ini menekankan soal persatuan Suriah, keamanan regional, hingga rekonsiliasi internal, substansi yang termuat dinilai lebih banyak membebani pemerintah Suriah dibanding pihak-pihak lain yang terlibat langsung dalam konflik Suwaida. Tidak ada ketentuan yang mewajibkan milisi bersenjata, seperti kelompok Al Hajri, untuk menanggalkan senjatanya.

Padahal, milisi Al Hajri selama ini disebut terlibat dalam berbagai tindakan kriminal dan bentrokan bersenjata. Ironisnya, peta jalan hanya menekankan perlunya aparat keamanan Suriah menindak pelanggaran hukum, tanpa kejelasan bagaimana perlakuan terhadap milisi yang justru menjadi sumber keresahan.

Pemerintah Damaskus bahkan dipaksa mengakui eksistensi kelompok milisi tersebut sebagai bagian dari proses rekonsiliasi dengan suku Arab Badui, meski tidak ada jaminan bahwa milisi Al Hajri akan tunduk pada hukum negara. Situasi ini dipandang sebagai bentuk pemotongan tangan Damaskus dalam menjaga otoritas penuh di wilayahnya sendiri.

Lebih jauh, dokumen itu juga tidak mencantumkan mekanisme penghentian serangan Israel di Suriah selatan. Israel yang kerap melakukan pemboman, khususnya di sekitar Dataran Tinggi Golan, sama sekali tidak disentuh dalam klausul peta jalan. Padahal, serangan semacam itu menjadi faktor utama instabilitas kawasan.

Dengan demikian, pemerintah Suriah seakan hanya diberikan tugas untuk mengelola krisis internal, tanpa kepastian mengenai ancaman eksternal yang nyata. Tidak ada pula ketentuan mengenai pengembalian Dataran Tinggi Golan, wilayah yang secara hukum internasional merupakan bagian dari kedaulatan Suriah.

Kementerian Luar Negeri Suriah memang menegaskan bahwa peta jalan ini mengacu pada prinsip kesetaraan warga dan kesatuan wilayah. Namun implementasi praktisnya tampak berat sebelah, dengan Damaskus yang harus menanggung beban rekonsiliasi dan penegakan hukum, sementara pihak-pihak bersenjata tetap leluasa.

Yordania dan Amerika Serikat dalam dokumen itu berkomitmen mendukung Suriah melalui bantuan rekonstruksi, penyediaan layanan dasar, hingga pembangunan institusi. Akan tetapi, dukungan itu dibalut syarat-syarat yang justru membatasi ruang gerak pemerintah Suriah dalam menentukan arah kebijakan internalnya.

Salah satu poin yang menimbulkan kontroversi adalah pembentukan kepolisian lokal di Suwaida. Meski digambarkan sebagai langkah partisipatif, rencana ini justru berpotensi melahirkan struktur keamanan paralel yang dapat mengurangi otoritas negara.

Selain itu, peran komunitas lokal dalam membentuk dewan provinsi juga dinilai ambigu. Tanpa kejelasan hubungan hierarkis dengan pemerintahan pusat, langkah ini bisa ditafsirkan sebagai upaya menciptakan otonomi berlebihan di Suwaida.

Lebih serius lagi, keterlibatan langsung Israel melalui “pemahaman keamanan” yang akan dimediasi Amerika Serikat menimbulkan pertanyaan besar. Bagaimana mungkin sebuah dokumen yang mengatasnamakan stabilitas Suriah justru membuka ruang negosiasi dengan pihak yang masih menduduki wilayahnya?

Di sisi lain, klausul mengenai rekonsiliasi dengan suku Arab Badui memang terdengar positif. Namun tidak ada kepastian bahwa kelompok milisi Al Hajri, yang kerap mengatasnamakan komunitas tertentu, akan dilucuti. Hal ini membuat rekonsiliasi rawan dimanfaatkan sebagai legitimasi permanen kelompok bersenjata.

Peta jalan ini juga menyebut adanya mekanisme pemantauan bersama antara Suriah, Yordania, dan Amerika Serikat. Tetapi dari perspektif Damaskus, mekanisme tersebut berpotensi menjadi alat tekanan politik berkepanjangan terhadap kedaulatan negara.

Sejumlah analis menilai, dokumen ini lebih menyerupai jebakan diplomatik. Suriah diminta mengalah, melakukan penyesuaian besar, namun tidak ada tekanan yang seimbang terhadap milisi internal maupun Israel.

Jika dibiarkan, peta jalan ini dapat mengubah wajah konflik di Suwaida menjadi permanen, dengan Damaskus sekadar berperan sebagai pengelola krisis, bukan sebagai pemegang kedaulatan penuh.

Dari sudut pandang Suriah, setiap upaya rekonsiliasi tentu penting. Namun rekonsiliasi tanpa perlucutan senjata milisi hanya akan memperpanjang ketidakpastian keamanan di wilayah selatan.

Israel yang terus membom Suriah juga tidak memiliki kewajiban dalam peta jalan ini. Absennya klausul penghentian serangan membuat dokumen tersebut seolah menutup mata terhadap faktor eksternal yang jelas-jelas memperkeruh keadaan.

Dengan situasi semacam ini, peta jalan Suwaida lebih tepat dipandang sebagai instrumen politik tiga pihak untuk menekan Damaskus, ketimbang sebagai langkah tulus menyelesaikan krisis.

Jika prinsip kesetaraan dan kedaulatan benar-benar dijunjung, maka seharusnya semua pihak bersenjata, termasuk Israel, diwajibkan menghentikan agresinya. Tanpa itu, road map ini hanya akan menjadi jebakan baru yang membelenggu tangan Suriah di tanahnya sendiri.

No comments:

Post a Comment

FREE WORLDWIDE SHIPPING

BUY ONLINE - PICK UP AT STORE

ONLINE BOOKING SERVICE