Damaskus, 17 September 2025 – Di bawah naungan pemerintahan transisi yang lahir dari puing-puing perang panjang, Suriah mulai menata kembali denyut nadi kehidupannya. Sejak jatuhnya rezim Bashar al-Assad pada Desember 2024, gelombang rekonstruksi menyapu negeri itu, dengan fokus utama pada rehabilitasi fasilitas publik yang hancur lebur akibat konflik selama lebih dari satu dekade. Ribuan sekolah, rumah sakit, dan infrastruktur vital lainnya kini menjadi prioritas, menandai babak baru harapan bagi 16,5 juta warga yang bergantung pada bantuan kemanusiaan.
Pemerintahan baru, yang dipimpin oleh Presiden Ahmed Al Sharaa dengan dukungan rakyat, LSM dan dunia internasional, telah meluncurkan inisiatif ambisius untuk memulihkan sektor kesehatan dan pendidikan. Menurut data Kementerian Kesehatan Suriah, sejak Januari 2025, setidaknya 13 rumah sakit telah menjalani renovasi menyeluruh, sementara lebih dari 40 pusat kesehatan primer ikut direvitalisasi. Angka ini mencerminkan komitmen kuat untuk mengatasi krisis yang membuat sistem kesehatan negeri itu nyaris runtuh.
Kerusakan parah pada rumah sakit menjadi warisan paling menyedihkan dari perang sipil. Sebelum transisi, hanya 57 persen fasilitas kesehatan yang beroperasi penuh, dengan 27 persen lainnya lumpuh total akibat bom dan pengepungan. Kini, dengan bantuan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan mitra seperti Jepang, proyek rehabilitasi berlanjut tanpa henti. Contoh nyata adalah Al-Qamishli National Hospital di timur laut, yang unit perawatan luka bakar dan daruratnya telah sepenuhnya diperbaiki pada Juli lalu.
Tak hanya itu, Rumah Sakit Pediatrik di Aleppo, yang rusak sejak 2012, kini bangkit sebagai simbol ketangguhan anak-anak Suriah. Proyek yang didanai Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui UNDP ini selesai pada Oktober 2024, menyediakan peralatan medis esensial untuk melayani ribuan pasien muda. Kolaborasi ini menunjukkan bagaimana pemerintahan baru membuka pintu bagi aktor global, meski tantangan dana masih mengintai.
Bantuan Saudi Arabia turut mempercepat langkah, dengan pendanaan untuk melengkapi 17 rumah sakit di berbagai wilayah dengan alat medis modern. Pada September ini, kesepakatan senilai 20 juta dolar dengan LSM Italia Emergency ditandatangani untuk merehabilitasi Rumah Sakit Rastan di Homs, menjanjikan peningkatan layanan bagi jutaan penduduk tengah. Upaya ini telah membuka 12 klinik baru, membawa total fasilitas kesehatan yang direvitalisasi mencapai lebih dari 50 unit sejak awal tahun.
Meski demikian, para pejabat Suriah mengakui bahwa 246 fasilitas kesehatan di utara dan timur laut berisiko tutup akibat pendanaan yang menurun 27 persen dari tahun sebelumnya. WHO meminta tambahan 141,5 juta dolar untuk 2025, menekankan transisi dari bantuan darurat ke pemulihan berkelanjutan. Di tengah eskalasi konflik akhir 2024 yang merusak 36 fasilitas lagi, rehabilitasi rumah sakit tetap menjadi prioritas utama pemerintahan transisi.
Sementara sektor kesehatan berjuang bangkit, pendidikan pun menjadi medan pertempuran baru melawan ketidaktahuan. Ribuan sekolah hancur total selama perang, dengan yang tersisa sering dimanfaatkan sebagai kamp pengungsi atau pusat medis darurat. Sejak Desember 2024, pemerintahan baru telah merevitalisasi 34 sekolah di Aleppo, Idlib, dan Homs, berkat dukungan Saudi yang menargetkan renovasi infrastruktur pendidikan secara masif.
Pembukaan sekolah nasional untuk pertama kalinya pasca-jatuhnya Assad pada September 2025 menjadi momen bersejarah. Lebih dari 2 juta anak kini bisa kembali ke bangku sekolah, meski tantangan logistik masih besar. UNICEF mencatat bahwa sejak awal 2023, 38 pusat pendidikan primer telah direhabilitasi, dengan 22 di antaranya selesai antara 2022 dan 2023, tapi akselerasi terjadi tajam di bawah rezim baru.
Di wilayah utara, proyek Saudi tak hanya membangun ulang gedung sekolah, tapi juga menyediakan buku pelajaran dan pelatihan guru. Ini bagian dari upaya luas untuk mencegah "generasi hilang", di mana jutaan anak terputus dari pendidikan selama bertahun-tahun. Kementerian Pendidikan Suriah melaporkan bahwa 188 alat pendukung telah didistribusikan ke sekolah-sekolah yang direvitalisasi, memastikan kualitas belajar yang lebih baik.
Namun, rekonstruksi sekolah menghadapi hambatan serius, termasuk minimnya tenaga pengajar terlatih dan ancaman keamanan di zona konflik. Laporan Borgen Project menyoroti bahwa ribuan bangunan sekolah masih dalam kondisi mengenaskan, memerlukan investasi miliaran dolar untuk pemulihan penuh. Pemerintahan transisi berjanji mempercepat proses, dengan target 100 sekolah tambahan direhabilitasi sebelum akhir 2025.
Lebih luas lagi, fasilitas publik lainnya seperti jaringan air, listrik, dan transportasi mulai disentuh tangan rekonstruksi. Sejak Januari 2025, setidaknya 20 proyek infrastruktur dasar telah diluncurkan, termasuk perbaikan pipa air di Damaskus yang melayani 500.000 warga. Dukungan dari Uni Eropa dan Turki membantu merevitalisasi stasiun listrik di Aleppo, mengurangi pemadaman bergilir yang menyiksa penduduk selama perang.
Di sektor transportasi, rehabilitasi jembatan dan jalan raya di Idlib menjadi prioritas, dengan 15 kilometer jalur utama yang telah diperbaiki. Ini memudahkan distribusi bantuan dan mobilitas warga, yang sebelumnya terhambat oleh puing-puing perang. PBB melalui OCHA mencatat bahwa 15,9 juta orang masih membutuhkan layanan dasar, membuat setiap proyek rehabilitasi berharga tak ternilai.
Kolaborasi internasional menjadi kunci sukses, dengan Saudi memimpin sebagai donor utama melalui proyek-proyek multisektor. Selain sekolah dan rumah sakit, dana Saudi juga mengalokasikan untuk pusat komunitas di Homs, yang kini berfungsi sebagai ruang multifungsi untuk pendidikan dan kesehatan. Upaya ini telah menciptakan lapangan kerja bagi 5.000 warga lokal, merangsang ekonomi pasca-konflik.
Tantangan tetap mengintai, terutama dari sisa-sisa kelompok bersenjata dan sanksi internasional yang lambat dicabut. Laporan CSIS menekankan bahwa stabilisasi kesehatan publik memerlukan transisi rapuh, di mana korupsi dan ketidakstabilan politik bisa merusak kemajuan. Meski begitu, pemerintahan baru telah menandatangani 10 kesepakatan bilateral untuk rekonstruksi, termasuk dengan Italia dan Jepang.
Di tengah itu semua, cerita manusiawi menjadi penggerak utama. Seorang dokter di Rastan Hospital bercerita bagaimana renovasi membawa kembali harapan bagi pasien kanker yang sebelumnya tak terjangkau. Demikian pula, guru di Aleppo yang melihat anak-anaknya kembali tertawa di kelas yang tak lagi bocor. Kisah-kisah ini menjadi bahan bakar bagi pejuang rekonstruksi di lapangan.
Prospek masa depan tampak cerah, meski gelapnya masa lalu masih membayangi. Dengan anggaran 2025 yang difokuskan pada 6 fasilitas kesehatan tambahan, Suriah berharap mencapai 70 persen operasional rumah sakit pada akhir tahun. Pendidikan pun diplotkan untuk menampung 3 juta siswa, dengan rehabilitasi sekolah yang diperluas ke wilayah selatan.
Fasilitas publik seperti pasar tradisional dan taman kota juga mulai disentuh, dengan 10 pasar di Damaskus yang direvitalisasi untuk mendukung pedagang kecil. Ini bukan hanya soal batu bata, tapi tentang mengembalikan rasa aman dan kebersamaan yang hilang selama perang. Pemerintahan transisi sering menggelar konferensi untuk menggalang dana, menarik minat dari Qatar dan Uni Emirat Arab.
Secara keseluruhan, sejak Desember 2024, rehabilitasi telah menyentuh sekitar 100 fasilitas utama, termasuk 13 rumah sakit, 34 sekolah, dan puluhan infrastruktur publik lainnya. Angka ini, meski masih jauh dari target ideal, menunjukkan akselerasi yang mengesankan dalam sembilan bulan pertama. Analis internasional memuji pendekatan inklusif yang melibatkan komunitas lokal.
Namun, keberlanjutan bergantung pada perdamaian abadi. Eskalasi kecil di perbatasan utara baru-baru ini mengingatkan bahwa satu bom saja bisa membalikkan roda kemajuan. Oleh karena itu, pemerintahan baru mendorong dialog nasional untuk rekonsiliasi, sambil terus membangun fondasi fisik negeri yang terluka.
Akhirnya, Suriah hari ini adalah kanvas harapan yang sedang dilukis ulang. Dari puing rumah sakit yang kini ramai pasien, hingga kelas sekolah yang penuh tawa anak, rekonstruksi ini bukan sekadar angka, tapi janji akan masa depan yang lebih baik. Dunia menatap, dan Suriah, dengan tangan terbuka, siap menyambut bantuan untuk melanjutkan perjalanan panjangnya menuju kebangkitan penuh.