majalah

Latest Products


Damaskus, 17 September 2025 – Di bawah naungan pemerintahan transisi yang lahir dari puing-puing perang panjang, Suriah mulai menata kembali denyut nadi kehidupannya. Sejak jatuhnya rezim Bashar al-Assad pada Desember 2024, gelombang rekonstruksi menyapu negeri itu, dengan fokus utama pada rehabilitasi fasilitas publik yang hancur lebur akibat konflik selama lebih dari satu dekade. Ribuan sekolah, rumah sakit, dan infrastruktur vital lainnya kini menjadi prioritas, menandai babak baru harapan bagi 16,5 juta warga yang bergantung pada bantuan kemanusiaan.

Pemerintahan baru, yang dipimpin oleh Presiden Ahmed Al Sharaa dengan dukungan rakyat, LSM dan dunia internasional, telah meluncurkan inisiatif ambisius untuk memulihkan sektor kesehatan dan pendidikan. Menurut data Kementerian Kesehatan Suriah, sejak Januari 2025, setidaknya 13 rumah sakit telah menjalani renovasi menyeluruh, sementara lebih dari 40 pusat kesehatan primer ikut direvitalisasi. Angka ini mencerminkan komitmen kuat untuk mengatasi krisis yang membuat sistem kesehatan negeri itu nyaris runtuh.

Kerusakan parah pada rumah sakit menjadi warisan paling menyedihkan dari perang sipil. Sebelum transisi, hanya 57 persen fasilitas kesehatan yang beroperasi penuh, dengan 27 persen lainnya lumpuh total akibat bom dan pengepungan. Kini, dengan bantuan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan mitra seperti Jepang, proyek rehabilitasi berlanjut tanpa henti. Contoh nyata adalah Al-Qamishli National Hospital di timur laut, yang unit perawatan luka bakar dan daruratnya telah sepenuhnya diperbaiki pada Juli lalu.

Tak hanya itu, Rumah Sakit Pediatrik di Aleppo, yang rusak sejak 2012, kini bangkit sebagai simbol ketangguhan anak-anak Suriah. Proyek yang didanai Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui UNDP ini selesai pada Oktober 2024, menyediakan peralatan medis esensial untuk melayani ribuan pasien muda. Kolaborasi ini menunjukkan bagaimana pemerintahan baru membuka pintu bagi aktor global, meski tantangan dana masih mengintai.

Bantuan Saudi Arabia turut mempercepat langkah, dengan pendanaan untuk melengkapi 17 rumah sakit di berbagai wilayah dengan alat medis modern. Pada September ini, kesepakatan senilai 20 juta dolar dengan LSM Italia Emergency ditandatangani untuk merehabilitasi Rumah Sakit Rastan di Homs, menjanjikan peningkatan layanan bagi jutaan penduduk tengah. Upaya ini telah membuka 12 klinik baru, membawa total fasilitas kesehatan yang direvitalisasi mencapai lebih dari 50 unit sejak awal tahun.

Meski demikian, para pejabat Suriah mengakui bahwa 246 fasilitas kesehatan di utara dan timur laut berisiko tutup akibat pendanaan yang menurun 27 persen dari tahun sebelumnya. WHO meminta tambahan 141,5 juta dolar untuk 2025, menekankan transisi dari bantuan darurat ke pemulihan berkelanjutan. Di tengah eskalasi konflik akhir 2024 yang merusak 36 fasilitas lagi, rehabilitasi rumah sakit tetap menjadi prioritas utama pemerintahan transisi.

Sementara sektor kesehatan berjuang bangkit, pendidikan pun menjadi medan pertempuran baru melawan ketidaktahuan. Ribuan sekolah hancur total selama perang, dengan yang tersisa sering dimanfaatkan sebagai kamp pengungsi atau pusat medis darurat. Sejak Desember 2024, pemerintahan baru telah merevitalisasi 34 sekolah di Aleppo, Idlib, dan Homs, berkat dukungan Saudi yang menargetkan renovasi infrastruktur pendidikan secara masif.

Pembukaan sekolah nasional untuk pertama kalinya pasca-jatuhnya Assad pada September 2025 menjadi momen bersejarah. Lebih dari 2 juta anak kini bisa kembali ke bangku sekolah, meski tantangan logistik masih besar. UNICEF mencatat bahwa sejak awal 2023, 38 pusat pendidikan primer telah direhabilitasi, dengan 22 di antaranya selesai antara 2022 dan 2023, tapi akselerasi terjadi tajam di bawah rezim baru.

Di wilayah utara, proyek Saudi tak hanya membangun ulang gedung sekolah, tapi juga menyediakan buku pelajaran dan pelatihan guru. Ini bagian dari upaya luas untuk mencegah "generasi hilang", di mana jutaan anak terputus dari pendidikan selama bertahun-tahun. Kementerian Pendidikan Suriah melaporkan bahwa 188 alat pendukung telah didistribusikan ke sekolah-sekolah yang direvitalisasi, memastikan kualitas belajar yang lebih baik.

Namun, rekonstruksi sekolah menghadapi hambatan serius, termasuk minimnya tenaga pengajar terlatih dan ancaman keamanan di zona konflik. Laporan Borgen Project menyoroti bahwa ribuan bangunan sekolah masih dalam kondisi mengenaskan, memerlukan investasi miliaran dolar untuk pemulihan penuh. Pemerintahan transisi berjanji mempercepat proses, dengan target 100 sekolah tambahan direhabilitasi sebelum akhir 2025.

Lebih luas lagi, fasilitas publik lainnya seperti jaringan air, listrik, dan transportasi mulai disentuh tangan rekonstruksi. Sejak Januari 2025, setidaknya 20 proyek infrastruktur dasar telah diluncurkan, termasuk perbaikan pipa air di Damaskus yang melayani 500.000 warga. Dukungan dari Uni Eropa dan Turki membantu merevitalisasi stasiun listrik di Aleppo, mengurangi pemadaman bergilir yang menyiksa penduduk selama perang.

Di sektor transportasi, rehabilitasi jembatan dan jalan raya di Idlib menjadi prioritas, dengan 15 kilometer jalur utama yang telah diperbaiki. Ini memudahkan distribusi bantuan dan mobilitas warga, yang sebelumnya terhambat oleh puing-puing perang. PBB melalui OCHA mencatat bahwa 15,9 juta orang masih membutuhkan layanan dasar, membuat setiap proyek rehabilitasi berharga tak ternilai.

Kolaborasi internasional menjadi kunci sukses, dengan Saudi memimpin sebagai donor utama melalui proyek-proyek multisektor. Selain sekolah dan rumah sakit, dana Saudi juga mengalokasikan untuk pusat komunitas di Homs, yang kini berfungsi sebagai ruang multifungsi untuk pendidikan dan kesehatan. Upaya ini telah menciptakan lapangan kerja bagi 5.000 warga lokal, merangsang ekonomi pasca-konflik.

Tantangan tetap mengintai, terutama dari sisa-sisa kelompok bersenjata dan sanksi internasional yang lambat dicabut. Laporan CSIS menekankan bahwa stabilisasi kesehatan publik memerlukan transisi rapuh, di mana korupsi dan ketidakstabilan politik bisa merusak kemajuan. Meski begitu, pemerintahan baru telah menandatangani 10 kesepakatan bilateral untuk rekonstruksi, termasuk dengan Italia dan Jepang.

Di tengah itu semua, cerita manusiawi menjadi penggerak utama. Seorang dokter di Rastan Hospital bercerita bagaimana renovasi membawa kembali harapan bagi pasien kanker yang sebelumnya tak terjangkau. Demikian pula, guru di Aleppo yang melihat anak-anaknya kembali tertawa di kelas yang tak lagi bocor. Kisah-kisah ini menjadi bahan bakar bagi pejuang rekonstruksi di lapangan.

Prospek masa depan tampak cerah, meski gelapnya masa lalu masih membayangi. Dengan anggaran 2025 yang difokuskan pada 6 fasilitas kesehatan tambahan, Suriah berharap mencapai 70 persen operasional rumah sakit pada akhir tahun. Pendidikan pun diplotkan untuk menampung 3 juta siswa, dengan rehabilitasi sekolah yang diperluas ke wilayah selatan.

Fasilitas publik seperti pasar tradisional dan taman kota juga mulai disentuh, dengan 10 pasar di Damaskus yang direvitalisasi untuk mendukung pedagang kecil. Ini bukan hanya soal batu bata, tapi tentang mengembalikan rasa aman dan kebersamaan yang hilang selama perang. Pemerintahan transisi sering menggelar konferensi untuk menggalang dana, menarik minat dari Qatar dan Uni Emirat Arab.

Secara keseluruhan, sejak Desember 2024, rehabilitasi telah menyentuh sekitar 100 fasilitas utama, termasuk 13 rumah sakit, 34 sekolah, dan puluhan infrastruktur publik lainnya. Angka ini, meski masih jauh dari target ideal, menunjukkan akselerasi yang mengesankan dalam sembilan bulan pertama. Analis internasional memuji pendekatan inklusif yang melibatkan komunitas lokal.

Namun, keberlanjutan bergantung pada perdamaian abadi. Eskalasi kecil di perbatasan utara baru-baru ini mengingatkan bahwa satu bom saja bisa membalikkan roda kemajuan. Oleh karena itu, pemerintahan baru mendorong dialog nasional untuk rekonsiliasi, sambil terus membangun fondasi fisik negeri yang terluka.

Akhirnya, Suriah hari ini adalah kanvas harapan yang sedang dilukis ulang. Dari puing rumah sakit yang kini ramai pasien, hingga kelas sekolah yang penuh tawa anak, rekonstruksi ini bukan sekadar angka, tapi janji akan masa depan yang lebih baik. Dunia menatap, dan Suriah, dengan tangan terbuka, siap menyambut bantuan untuk melanjutkan perjalanan panjangnya menuju kebangkitan penuh.

Pemerintah Suriah kembali menghadapi tekanan diplomatik melalui sebuah “road map” yang disepakati dalam pertemuan tiga pihak di Damaskus antara Menteri Luar Negeri Suriah Asaad Hassan al-Shaibani, Menlu Yordania Ayman Safadi, dan Utusan Khusus AS untuk Suriah Thomas Barrack. Peta jalan yang diklaim bertujuan menyelesaikan krisis di Suwaida itu, justru memunculkan tanda tanya besar mengenai keseimbangan tanggung jawab.

Meski dokumen ini menekankan soal persatuan Suriah, keamanan regional, hingga rekonsiliasi internal, substansi yang termuat dinilai lebih banyak membebani pemerintah Suriah dibanding pihak-pihak lain yang terlibat langsung dalam konflik Suwaida. Tidak ada ketentuan yang mewajibkan milisi bersenjata, seperti kelompok Al Hajri, untuk menanggalkan senjatanya.

Padahal, milisi Al Hajri selama ini disebut terlibat dalam berbagai tindakan kriminal dan bentrokan bersenjata. Ironisnya, peta jalan hanya menekankan perlunya aparat keamanan Suriah menindak pelanggaran hukum, tanpa kejelasan bagaimana perlakuan terhadap milisi yang justru menjadi sumber keresahan.

Pemerintah Damaskus bahkan dipaksa mengakui eksistensi kelompok milisi tersebut sebagai bagian dari proses rekonsiliasi dengan suku Arab Badui, meski tidak ada jaminan bahwa milisi Al Hajri akan tunduk pada hukum negara. Situasi ini dipandang sebagai bentuk pemotongan tangan Damaskus dalam menjaga otoritas penuh di wilayahnya sendiri.

Lebih jauh, dokumen itu juga tidak mencantumkan mekanisme penghentian serangan Israel di Suriah selatan. Israel yang kerap melakukan pemboman, khususnya di sekitar Dataran Tinggi Golan, sama sekali tidak disentuh dalam klausul peta jalan. Padahal, serangan semacam itu menjadi faktor utama instabilitas kawasan.

Dengan demikian, pemerintah Suriah seakan hanya diberikan tugas untuk mengelola krisis internal, tanpa kepastian mengenai ancaman eksternal yang nyata. Tidak ada pula ketentuan mengenai pengembalian Dataran Tinggi Golan, wilayah yang secara hukum internasional merupakan bagian dari kedaulatan Suriah.

Kementerian Luar Negeri Suriah memang menegaskan bahwa peta jalan ini mengacu pada prinsip kesetaraan warga dan kesatuan wilayah. Namun implementasi praktisnya tampak berat sebelah, dengan Damaskus yang harus menanggung beban rekonsiliasi dan penegakan hukum, sementara pihak-pihak bersenjata tetap leluasa.

Yordania dan Amerika Serikat dalam dokumen itu berkomitmen mendukung Suriah melalui bantuan rekonstruksi, penyediaan layanan dasar, hingga pembangunan institusi. Akan tetapi, dukungan itu dibalut syarat-syarat yang justru membatasi ruang gerak pemerintah Suriah dalam menentukan arah kebijakan internalnya.

Salah satu poin yang menimbulkan kontroversi adalah pembentukan kepolisian lokal di Suwaida. Meski digambarkan sebagai langkah partisipatif, rencana ini justru berpotensi melahirkan struktur keamanan paralel yang dapat mengurangi otoritas negara.

Selain itu, peran komunitas lokal dalam membentuk dewan provinsi juga dinilai ambigu. Tanpa kejelasan hubungan hierarkis dengan pemerintahan pusat, langkah ini bisa ditafsirkan sebagai upaya menciptakan otonomi berlebihan di Suwaida.

Lebih serius lagi, keterlibatan langsung Israel melalui “pemahaman keamanan” yang akan dimediasi Amerika Serikat menimbulkan pertanyaan besar. Bagaimana mungkin sebuah dokumen yang mengatasnamakan stabilitas Suriah justru membuka ruang negosiasi dengan pihak yang masih menduduki wilayahnya?

Di sisi lain, klausul mengenai rekonsiliasi dengan suku Arab Badui memang terdengar positif. Namun tidak ada kepastian bahwa kelompok milisi Al Hajri, yang kerap mengatasnamakan komunitas tertentu, akan dilucuti. Hal ini membuat rekonsiliasi rawan dimanfaatkan sebagai legitimasi permanen kelompok bersenjata.

Peta jalan ini juga menyebut adanya mekanisme pemantauan bersama antara Suriah, Yordania, dan Amerika Serikat. Tetapi dari perspektif Damaskus, mekanisme tersebut berpotensi menjadi alat tekanan politik berkepanjangan terhadap kedaulatan negara.

Sejumlah analis menilai, dokumen ini lebih menyerupai jebakan diplomatik. Suriah diminta mengalah, melakukan penyesuaian besar, namun tidak ada tekanan yang seimbang terhadap milisi internal maupun Israel.

Jika dibiarkan, peta jalan ini dapat mengubah wajah konflik di Suwaida menjadi permanen, dengan Damaskus sekadar berperan sebagai pengelola krisis, bukan sebagai pemegang kedaulatan penuh.

Dari sudut pandang Suriah, setiap upaya rekonsiliasi tentu penting. Namun rekonsiliasi tanpa perlucutan senjata milisi hanya akan memperpanjang ketidakpastian keamanan di wilayah selatan.

Israel yang terus membom Suriah juga tidak memiliki kewajiban dalam peta jalan ini. Absennya klausul penghentian serangan membuat dokumen tersebut seolah menutup mata terhadap faktor eksternal yang jelas-jelas memperkeruh keadaan.

Dengan situasi semacam ini, peta jalan Suwaida lebih tepat dipandang sebagai instrumen politik tiga pihak untuk menekan Damaskus, ketimbang sebagai langkah tulus menyelesaikan krisis.

Jika prinsip kesetaraan dan kedaulatan benar-benar dijunjung, maka seharusnya semua pihak bersenjata, termasuk Israel, diwajibkan menghentikan agresinya. Tanpa itu, road map ini hanya akan menjadi jebakan baru yang membelenggu tangan Suriah di tanahnya sendiri.


Beberapa wilayah di Suriah kini mengalami lonjakan kriminalitas yang signifikan, terutama sejak runtuhnya rezim Assad. Kepolisian baru di bawah pemerintahan Presiden Ahmed Al Sharaa dihadapkan pada tantanganbyang sifatnya transisi.

Provinsi seperti Daraa menjadi salah satu titik paling terdampak, dengan insiden kekerasan yang meningkat antara kelompok bersenjata lama dan warga sipil. Fenomena ini tidak hanya berkaitan dengan persaingan politik, tetapi juga masalah sosial dan ekonomi yang muncul pasca-konflik.

Salah satu penyebab utama meningkatnya kriminalitas adalah eks tentara rezim Assad yang menganggur. Setelah runtuhnya struktur militer, banyak mantan anggota tentara kehilangan pekerjaan dan sumber penghidupan. Kondisi ini mendorong sebagian dari mereka masuk ke dunia kriminal sebagai gangster lokal, memanfaatkan pengalaman militer dan jaringan lama mereka untuk merampok, memeras, dan menguasai wilayah tertentu.

Selain itu, mantan pemberontak yang sebelumnya berperang melawan rezim kini menjadi sumber konflik baru. Setelah perjanjian damai atau rekonsiliasi, beberapa mantan komandan pemberontak membawa dendam lama terhadap sesama eks pejuang. Persaingan ini sering kali berubah menjadi perkelahian bersenjata, terutama di daerah-daerah yang memiliki senjata berlimpah.

Fenomena kekerasan ini juga diperparah oleh aksi sabotase oleh intelijen Israel, SDF, milisi Druze Al Hajri pro Israel yang kerap menargetkan infrastruktur lokal, seperti jaringan air, listrik, dan fasilitas publik. Sabotase tidak hanya merusak ekonomi lokal, tetapi juga memicu ketegangan antar-komunitas, karena sering muncul tuduhan saling menyalahkan antar kelompok bersenjata atau warga sipil yang tersisa.

Kota Tafas di barat laut Daraa menjadi contoh nyata dari situasi ini. Dalam beberapa hari terakhir, terjadi bentrokan intra-keluarga yang menewaskan tiga orang, termasuk dua bersaudara yang juga mantan komandan pemberontak yang tidak bergabung dengan pemerintahan baru. Ironisnya, mereka sebelumnya telah melakukan rekonsiliasi pada pertengahan 2018, tetapi perselisihan lama kembali memicu kekerasan.

Lonjakan kriminalitas di Daraa dan sekitarnya menunjukkan bagaimana proliferasi senjata pasca-perang meningkatkan risiko kekerasan. Senjata yang tersimpan di rumah atau dikuasai kelompok militan lokal membuat konflik kecil berubah menjadi tragedi berdarah dengan cepat.

Kondisi ekonomi yang buruk juga memperburuk situasi. Banyak warga kehilangan pekerjaan dan akses terhadap sumber daya dasar, sehingga kejahatan jalanan dan perampokan dan pemerasan meningkat. Mantan tentara dan pemberontak yang tidak memiliki penghasilan tetap menjadi aktor utama dalam gelombang kriminalitas ini.

Kesenjangan antara wilayah yang telah stabil dengan yang masih rawan kekerasan menjadi jelas. Beberapa kota di Suriah tengah menikmati pemulihan ekonomi ringan, tetapi provinsi seperti Daraa, Idlib, dan Deir ez-Zor masih mengalami ketidakpastian keamanan yang tinggi.

Mantan komandan pemberontak yang memiliki jaringan loyalis sendiri kini bersaing dengan kelompok bersenjata baru, menciptakan fragmentasi kekuasaan lokal. Situasi ini menambah kompleksitas bagi upaya pemerintah pusat untuk menegakkan hukum dan stabilitas.

Kejadian di Tafas menyoroti sisi tragis dari fenomena ini: konflik bukan hanya antar-kelompok, tetapi juga antar keluarga yang dulunya bersatu. Hal ini menunjukkan dampak sosial jangka panjang perang, di mana dendam dan konflik lama tetap membara meski secara resmi telah ada rekonsiliasi.

Beberapa analis menilai bahwa situasi ini mirip di negara yang sedang mengalami trasisi. Adanya penguasa lokal yang mengendalikan keadaan selain pemerintahan resmi membuat kondisi semakin tidak stabil, di mana kekuasaan lokal dikendalikan mantan militan dan tentara daripada otoritas resmi. Kondisi ini mempersulit pengawasan hukum dan penegakan keamanan.

Selain faktor internal, campur tangan eksternal juga memengaruhi lonjakan kriminalitas. Ada laporan bahwa kelompok asing, baik dari Israel maupun Lebanon atau jaringan kriminal lintas batas kadang memanfaatkan kekacauan untuk kegiatan ilegal, termasuk perdagangan senjata dan narkotika.

Pemerintah lokal dan internasional telah mencoba menurunkan tingkat kekerasan dengan membentuk unit keamanan komunitas, tetapi efektivitasnya masih terbatas. Banyak unit keamanan yang masih kekurangan personel, perlengkapan, dan legitimasi di mata warga lokal.

Krisis hukum juga muncul karena pengadilan lokal sering tidak berfungsi atau dikuasai oleh mantan komandan bersenjata. Warga yang menjadi korban kekerasan kadang sulit mendapatkan keadilan, sehingga balas dendam pribadi semakin marak.

Masyarakat sipil di wilayah terdampak kini hidup dalam ketidakpastian. Kegiatan sehari-hari terganggu oleh ancaman kekerasan, dan banyak keluarga memilih untuk meninggalkan rumah atau menjaga diri secara mandiri.

Beberapa kelompok bantuan internasional mencoba memberikan dukungan, terutama dalam bentuk pendidikan dan bantuan sosial, tetapi situasi keamanan yang rapuh membatasi akses ke wilayah tertentu.

Analis menyebutkan bahwa integrasi mantan tentara dan pemberontak ke kehidupan sipil menjadi salah satu kunci mengurangi kriminalitas. Program pelatihan kerja, rekonsiliasi berkelanjutan, dan pengawasan senjata bisa membantu mengurangi potensi konflik.

Fenomena kriminalitas pasca-konflik ini juga menyoroti pentingnya rekonsiliasi jangka panjang. Tanpa upaya berkelanjutan untuk membangun kepercayaan antar kelompok, kekerasan kecil bisa meletus menjadi konflik bersenjata baru.

Beberapa pengamat mengingatkan bahwa situasi Daraa dan wilayah sekitarnya bisa menjadi indikator nasional. Jika kriminalitas tidak ditangani, efeknya bisa menyebar ke provinsi lain dan mengancam stabilitas Suriah secara keseluruhan.

Kondisi ini menekankan bahwa akhir perang tidak selalu berarti perdamaian. Sisa-sisa konflik lama, proliferasi senjata, dan ketidakstabilan ekonomi dapat menciptakan lingkaran kekerasan baru yang sulit diputus.

Dengan demikian, lonjakan kriminalitas di Suriah pasca-perang merupakan gabungan faktor sosial, ekonomi, dan sejarah konflik. Eks tentara Assad, mantan pemberontak, dan sabotase menjadi aktor utama dalam gelombang kekerasan yang terus meningkat, menuntut solusi yang menyeluruh dari pemerintahan baru dan komunitas internasional.


Sejarah modern banyak negara menunjukkan bahwa pengaturan wilayah yang semi-otonom sering menjadi tantangan besar bagi persatuan nasional. Di Pakistan, wilayah FATA (Federally Administered Tribal Areas) pernah berdiri sebagai kawasan semi-otonom yang langsung dikendalikan pemerintah federal melalui Frontier Crimes Regulations (FCR). FATA terdiri dari tujuh tribal agencies dan enam frontier regions, dengan kepala distrik yang disebut Political Agent yang mengatur administrasi, keamanan, dan hukum adat.

Sistem ini membuat FATA unik, tetapi juga tertinggal dari segi pembangunan. Integrasi ke provinsi Khyber Pakhtunkhwa pada 2018 menandai berakhirnya status semi-otonom, dengan FATA berubah menjadi distrik biasa. Penghapusan FCR diganti dengan hukum nasional Pakistan, wakil rakyat kini memiliki kursi di Majelis Nasional dan provinsi, sementara pembangunan infrastruktur dan layanan publik mulai merata ke wilayah sebelumnya tertinggal.

Namun integrasi bukan tanpa tantangan. Masyarakat suku Pashtun yang terbiasa dengan hukum adat merasa kehilangan identitas lokal, sementara aparat provinsi harus menyesuaikan diri dengan budaya dan sistem lama. Meski demikian, langkah ini dianggap penting untuk persatuan nasional, hukum yang merata, serta keamanan yang lebih stabil di timur laut Pakistan.

Di sisi lain, India juga memiliki wilayah dengan otonomi khusus, yaitu union territory. Beberapa contoh seperti Ladakh dan Delhi memiliki administrasi sendiri tetapi tetap diawasi pusat. Mirip dengan FATA, union territory memiliki pemerintahan lokal terbatas, tetapi keputusan strategis penting tetap dikendalikan pemerintah pusat. Berbeda dengan FATA, beberapa union territory memiliki legislatif terbatas, seperti Delhi, sementara Ladakh sepenuhnya administrasi federal.

Fenomena serupa juga terlihat di Suriah timur laut, di mana SDF (Syrian Democratic Forces) menguasai wilayah luas dengan struktur pemerintahan setara mini-negara. SDF memiliki perdana menteri regional, dewan legislatif, administrasi sipil, dan pasukan militer sendiri. Dalam hal ini, SDF lebih mirip negara dalam negara, sementara FATA dan union territory lebih bersifat administratif.

SDF juga mengembangkan sistem region atau kanton, mirip model Bosnia-Herzegovina. Wilayah-wilayah seperti Jazira, Eufrat, Raqqa, dan Tabqa memiliki perdana menteri regional, wakil, serta dewan legislatif lokal. Mereka menjalankan hukum dan kebijakan sendiri, sekaligus bernegosiasi dengan pemerintah Suriah untuk integrasi politik di masa depan.

Dalam sejarah Indonesia, konsep serupa muncul saat Republik Indonesia Serikat (RIS) berdiri pasca-kemerdekaan. RIS adalah federasi dengan negara bagian yang memiliki pemerintah sendiri, legislatif, dan kepala pemerintahan, namun tetap berada dalam kerangka federal. Beberapa wilayah yang eksklusif atau eks-koloni Belanda dikelola langsung pusat, mirip dengan union territory atau FATA.

Wilayah kecil seperti Negara Indonesia Timur (NIT) atau Negara Sumatera Timur memiliki legislatif dan kepala pemerintahan sendiri, tapi militer tetap dikendalikan pusat. Konsep ini menunjukkan bahwa federasi memungkinkan negara bagian otonom, tetapi integrasi pusat tetap penting untuk stabilitas.

India dan Pakistan pada awal kemerdekaan juga memiliki Princely States, wilayah yang dipimpin raja, nawab, atau sultan di bawah protektorat Inggris. Princely states memiliki kekuasaan internal tetapi pengakuan Inggris menjadikannya semi-otonom. Integrasi dilakukan melalui Instrument of Accession, menyatukan ratusan princely states ke negara modern.

Pembubaran princely states di India dimaksudkan untuk menciptakan persatuan nasional, standarisasi hukum dan administrasi, serta stabilitas keamanan. Di Pakistan, princely states seperti Bahawalpur, Khairpur, dan Swat digabung ke provinsi Sindh, Punjab, dan Khyber Pakhtunkhwa. Tujuannya agar pembangunan, hukum, dan militer berada di bawah kendali federal.

Keuntungan pembubaran ini termasuk persatuan nasional, hukum dan administrasi seragam, kontrol militer terpadu, serta pembangunan lebih merata. Wilayah-wilayah sebelumnya terkucil kini bisa menikmati pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang lebih baik.

Namun pembubaran princely states juga menimbulkan kekurangan. Banyak elit dan masyarakat lokal kehilangan identitas politik dan kedaulatan adat. Distribusi pembangunan awal terkadang timpang karena provinsi baru harus menyesuaikan wilayah eks-kerajaan dengan standar nasional.

Beberapa pengamat menyebut kemiskinan di sebagian daerah India dan Pakistan terkait lambatnya pembangunan pasca-integrasi, tapi tidak semata-mata karena pembubaran kerajaan. Wilayah mantan princely states yang makmur, seperti Mysore di India atau Bahawalpur di Pakistan, justru berkembang pesat setelah integrasi.

Integrasi FATA, union territory, SDF, RIS, dan princely states menunjukkan dilema antara otonomi lokal dan kontrol pusat. Setiap langkah membawa keuntungan dari sisi stabilitas, hukum, dan pembangunan, tetapi juga memunculkan resistensi lokal dan tantangan adaptasi.

FATA yang menjadi distrik biasa di Khyber Pakhtunkhwa kini sepenuhnya mengikuti hukum dan administrasi provinsi. Union territory di India tetap menjadi contoh wilayah semi-otonom administratif, sementara SDF menunjukkan bagaimana de facto negara dalam negara bisa terbentuk.

RIS dan pembubaran princely states menjadi pelajaran sejarah bahwa federasi atau integrasi wajib dilakukan untuk menciptakan negara modern yang bersatu, walau menghadapi tantangan budaya dan identitas lokal.

SDF di Suriah, walaupun memiliki struktur pemerintahan mirip mini-negara, tetap harus bernegosiasi dengan pemerintah pusat untuk integrasi politik dan keamanan, mirip tantangan integrasi princely states ke India dan Pakistan.

Kesimpulannya, berbagai contoh ini menegaskan bahwa semi-otonomi dan integrasi pusat adalah keseimbangan rumit antara hak lokal, hukum nasional, pembangunan, dan keamanan. Model yang berhasil membutuhkan adaptasi hukum, militer, dan politik, sambil mempertahankan identitas budaya masyarakat setempat.

Integrasi wilayah seperti FATA ke Khyber Pakhtunkhwa atau pembubaran princely states tetap menjadi strategi penting untuk mencapai stabilitas jangka panjang. Meski menghadapi tantangan, langkah ini membuka jalan bagi pembangunan yang lebih merata dan persatuan nasional yang kuat.

Dengan melihat pengalaman FATA, SDF, union territory, RIS, dan princely states, dapat disimpulkan bahwa negara modern yang stabil membutuhkan integrasi wilayah dan hukum, meski otonomi lokal tetap penting untuk identitas dan keberlangsungan budaya masyarakat.

Integrasi bukan hanya soal administrasi, tapi juga soal politik, militer, dan ekonomi, sehingga setiap wilayah perlu dirancang dengan cermat agar manfaat pembangunan dan keamanan bisa dirasakan semua pihak.


Fenomena algoritma media sosial yang semakin nyeleneh menjadi sorotan banyak pengguna di Indonesia. Konten-konten yang bermaksud lucu-lucuan justru sering melampaui batas dan akhirnya viral, meski tidak memberi manfaat apa pun. Tidak sedikit warganet luar negeri yang kemudian beranggapan bahwa pengguna media sosial Indonesia memiliki tingkat intelektual rendah karena sering mengangkat hal-hal remeh sebagai tren.

Masalah ini sesungguhnya berakar pada bagaimana algoritma media sosial bekerja. Mesin rekomendasi tidak membaca kualitas isi, melainkan fokus pada interaksi. Semakin banyak yang menonton, memberi tanda suka, atau berkomentar, semakin besar peluang konten itu didorong ke lini masa orang lain. Akibatnya, konten nyeleneh lebih cepat menjalar daripada konten yang bermutu.

Untuk mengatasi hal ini, langkah pertama yang bisa dilakukan pengguna adalah tidak memberikan reaksi apa pun terhadap konten yang tidak bermanfaat. Dengan tidak memberi tanda suka maupun komentar, kita ikut mengurangi daya dorong algoritma terhadap konten tersebut. Semakin sedikit interaksi, semakin kecil peluang konten itu direkomendasikan ke pengguna lain.

Memang ada fitur blokir atau opsi “jangan rekomendasikan channel ini” di sejumlah platform. Namun, karena jumlah konten serupa sangat banyak, pengguna sering merasa kewalahan. Alih-alih menghabiskan waktu untuk memblokir satu per satu, strategi yang lebih efektif adalah memperkuat sinyal positif kepada algoritma dengan mengikuti akun-akun berkualitas.

Mengikuti akun yang bermanfaat akan memberi arah baru pada rekomendasi algoritma. Jika lebih sering berinteraksi dengan konten pendidikan, agama, atau informasi resmi, maka mesin rekomendasi akan menampilkan lebih banyak konten serupa. Dengan cara ini, lini masa bisa lebih sehat tanpa harus repot memblokir ribuan akun yang tidak berguna.

Sebagai contoh, akun organisasi besar seperti Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) atau Liga Muslim Dunia bisa menjadi rujukan yang bernilai. Konten mereka tidak hanya informatif, tetapi juga menambah wawasan global tentang isu-isu dunia Islam. Hal ini membantu pengguna tetap terhubung dengan informasi penting yang biasanya luput dari sorotan media arus utama.

Selain itu, mengikuti akun resmi presiden, DPR, kementerian, dan lembaga pemerintahan dapat memperkaya lini masa dengan kebijakan dan informasi terkini. Masyarakat akan lebih mudah mengetahui program negara dan perkembangan politik, tanpa harus bergantung pada rumor yang beredar di grup-grup pesan instan.

Tidak kalah penting, akun-akun keagamaan seperti MUI, NU, Muhammadiyah, serta tokoh-tokoh Islam nasional bisa memberi pencerahan dan bimbingan moral. Kehadiran konten religius di lini masa akan menjadi penyeimbang dari derasnya arus hiburan semata. Dengan demikian, media sosial tidak hanya berfungsi sebagai tempat bersenda gurau, tetapi juga ruang pembelajaran.

Kesadaran untuk tidak mengikuti akun penyebar hoaks juga sangat penting. Akun semacam itu sering menggunakan teknik cuci otak untuk menggiring opini publik. Jika dibiarkan, mereka tidak hanya mengotori lini masa, tetapi juga bisa mengacaukan pola pikir pengguna.

Langkah kolektif ini harus dibarengi dengan kesadaran pribadi. Tidak semua konten viral layak diikuti, apalagi dijadikan konsumsi harian. Dengan memilih interaksi yang lebih sehat, pengguna ikut menciptakan ekosistem digital yang bermanfaat bagi diri sendiri maupun masyarakat luas.

Memang, sepenuhnya mengendalikan algoritma bukanlah hal yang mudah. Namun, dengan konsistensi dalam memilih interaksi, lambat laun algoritma akan menyesuaikan. Platform digital bekerja dengan data perilaku pengguna, dan data tersebut bisa diarahkan ke hal-hal positif jika digunakan dengan bijak.

Fenomena ini juga memberi pelajaran bahwa masyarakat Indonesia perlu lebih cerdas digital. Literasi media sosial bukan sekadar tahu cara menggunakan aplikasi, tetapi juga memahami dampak setiap klik, komentar, dan tanda suka. Kecerdasan digital inilah yang menjadi benteng dari arus informasi yang tidak bermanfaat.

Pemerintah bersama lembaga masyarakat dapat berperan dalam memberikan edukasi digital. Program literasi media perlu diperluas agar masyarakat sadar bahwa lini masa mereka adalah cerminan pilihan mereka sendiri. Jika terus memberi makan algoritma dengan konten ringan dan nyeleneh, maka itulah yang akan kembali ditampilkan.

Lembaga pendidikan juga bisa menanamkan kesadaran sejak dini tentang pentingnya memilih konten bermutu. Generasi muda yang akrab dengan dunia digital sebaiknya diarahkan untuk menjadikan media sosial sebagai ruang kreatif dan produktif, bukan sekadar hiburan kosong.

Para tokoh publik, baik politisi, akademisi, maupun pemuka agama, perlu lebih aktif hadir di media sosial. Kehadiran mereka akan menambah variasi konten positif, sekaligus memberi contoh bahwa media sosial bisa digunakan untuk hal-hal serius dan membangun.

Pada akhirnya, yang menentukan isi lini masa bukan semata-mata algoritma, tetapi pilihan pengguna sendiri. Jika masyarakat konsisten memilih untuk tidak berinteraksi dengan konten nyeleneh, maka ruang untuk konten bermutu akan semakin luas.

Fenomena pengguna luar negeri yang menilai rendah IQ masyarakat Indonesia sebenarnya bisa menjadi alarm peringatan. Kritik itu seharusnya memacu kesadaran bersama bahwa media sosial adalah wajah bangsa di dunia maya. Konten yang ditampilkan akan membentuk citra kolektif.

Dengan membangun kesadaran kolektif, masyarakat Indonesia bisa mengubah wajah media sosial menjadi lebih cerdas, informatif, dan membanggakan. Langkah sederhana seperti tidak mengklik konten remeh dan lebih aktif mengikuti akun bermanfaat bisa membawa perubahan besar.

Menyeimbangkan algoritma media sosial memang membutuhkan kerja sama antara pengguna, pemerintah, dan komunitas. Namun, kunci utamanya ada pada kesadaran individu. Setiap klik adalah pilihan, dan setiap pilihan akan menentukan wajah media sosial di masa depan.

Jika masyarakat konsisten dalam memilih, algoritma yang nyeleneh akan perlahan terpinggirkan. Media sosial pun bisa kembali menjadi ruang interaksi yang sehat, bermanfaat, dan mencerminkan kecerdasan bangsa.

Kegubernuran atau Provinsi Idlib dan daerah pedesaan serta perkotaan Aleppo, di barat laut Suriah, menyaksikan kebangkitan ekonomi yang besar dan belum pernah terjadi sebelumnya.

Pembangunan besar terlihat terjadi dalam pembangunan fasilitas industri utama, (jasa) kompleks perumahan, pabrik, dan pusat perbelanjaan untuk barang-barang lokal dan impor, dimotori oleh pengusaha dan kapitalis dari berbagai wilayah Suriah.

Pemerintahan Penyelamat Suriah yang berkuasa di Idlim menawarkan stabilitas keamanan dan fasilitas kemudahan investasi.

Kota Al-Dana dan Sarmada (35 kilometer utara Idlib), sejak faksi oposisi mengambil alih pada 2012, telah menerima bagian terbesar dari pabrik bangunan dan fasilitas industri, untuk logam, bahan bangunan, pabrik pakaian jadi dan pabrik makanan. 


Terdapat juga tren penyebaran perusahaan impor untuk barang-barang Eropa (mobil dan peralatan rumah tangga), dan kantor ekspor, blok bangunan ke negara-negara dunia dan Teluk Arab, dan pembangunan kompleks perumahan besar, serta pusat perbelanjaan dan mal. 

Kedua kota padat penduduk tersebut dianggap sebagai pintu gerbang wilayah Suriah utara ke Turki dan pasar global.

Sementara itu beberapa kementerian di pemerintah penyelamat (SG), yang mengelola sisi administratif di provinsi Idlib, menyaksikan permintaan besar dari para pedagang dan profesional untuk mendapatkan lisensi untuk perusahaan komersial dan industri sesuai dengan kondisi dan undang-undang yang ditetapkan oleh pemerintah dengan cara  yang sesuai dengan situasi saat ini dan perkembangan serta pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut.

Membangun pabrik dan fasilitas industri dan komersial

Pusat konstruksi dan kantor kontraktor hampir selesai pembangunan pasar terbesar untuk perdagangan pakaian jadi (grosir), di kota Dana, utara Idlib, yang mencakup sekitar 150 toko, luas masing-masing toko adalah sekitar 80 meter persegi, dan dimiliki oleh pemilik pabrik dan laboratorium untuk pembuatan pakaian lokal, dan pedagang pakaian jadi, dari berbagai wilayah Suriah.

Selain itu, pusat perdagangan terbesar (Royal Mall) sedang dibangun, dan sejumlah pedagang Suriah berpartisipasi dalam pembangunannya, sementara beberapa hari yang lalu, lebih dari 50 toko untuk perdagangan barang dan pakaian dikirim ke sejumlah negara kata penyewa dan pemilik toko (Mafraq) di "Souk Al Harir", selatan kota Dana. 

Yang dibangun sesuai dengan standar dan standar terbaik dalam hal kualitas marmer, keramik dan dekorasi, dengan biaya sekitar $600.000 , menurut Ibrahim Jaza, salah satu mitra dalam membangun pasar.

Dia menambahkan bahwa “faktor stabilitas dan ketenangan, selain keamanan yang mulai dialami oleh gubernur Idlib di Suriah utara, melalui pembentukan pos keamanan dan polisi serta patroli pasukan keamanan sepanjang waktu di pasar dan pusat kota, dan fasilitas yang diberikan oleh pemerintah (penyelamatan) di Idlib (pengurangan pajak atas barang impor).

Dia mendorong sejumlah besar pedagang dan pemilik modal dari daerah (Aleppo, Idlib, Hama, Homs, dan pedesaan Damaskus) untuk berinvestasi di semua sektor, yang terpenting adalah membangun pusat perbelanjaan, pabrik dan fasilitas industri, selain membangun komunitas perumahan, dan menjualnya kepada warga dengan cicilan yang nyaman.

Sementara itu, Abu Shaker, yang merupakan pemilik pusat penjualan besi konstruksi dan semen (impor) terbesar di daerah Sarmada, utara Idlib, menunjukkan bahwa “sejumlah besar pedagang dan modal telah kembali dari Turki. dan negara-negara lain tempat mereka berlindung setelah pecahnya revolusi Suriah 2011, ke provinsi Idlib.” 

Dan pedesaan Aleppo, setelah pembatasan yang diberlakukan pada mereka di negara-negara tersebut, termasuk Turki, sejumlah besar dari mereka memutuskan untuk menginvestasikan dana dan uang mereka dalam berbagai proyek, termasuk membangun bengkel jahit dan menjahit, fasilitas fabrikasi logam, dan usaha untuk proyek-proyek besar, termasuk membangun rumah sakit dan pusat perbelanjaan (mall).


Ia menjelaskan, “Permintaan besi dan semen konstruksi akhir-akhir ini meningkat 3 kali lipat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, dan impor besi kita sejak awal tahun ini hingga sekarang sudah mencapai sekitar 100.000 ton besi impor, dan pusat-pusat lainnya mungkin sudah mengimpor lebih dari itu, dan itu dikirim ke kontraktor dan dealer.

Sekelompok pedagang baru-baru ini meluncurkan serangkaian proyek industri, dekat kota Sarmada, yang mengkhususkan diri dalam pembuatan pemanas, tangki air dan baterai listrik, dengan upaya sekitar 60 pekerja sipil terlantar di daerah tersebut, menurut Ahmed Zekra, seorang pedagang.

Dia mengatakan: "Melalui konsensus antara 8 pengusaha, yang berasal dari beberapa provinsi di Suriah, disepakati untuk mendirikan sebuah perusahaan, termasuk industri logam dan rumah tangga, dengan modal awal  800.000 dolar AS dan anggota perusahaan sedang dalam proses pengembangan mereka. bisnis, termasuk pembuatan lemari es rumah dan alat-alat listrik, mengandalkan bahan baku primer (impor).


Tak banyak yang kenal Nakhchivan di Azerbaijan.

Sebuah wilayah otonomi yang terpisah dari dengan wilayah Azerbaijan lainnya.

Karena posisinya yang terisolir membuatnya daerah otonom dalam arti sebenarnya.

Daerah ini benar-benar harus swasembada di berbagai bidang jika ingin survive.

Dan itu membuat kota ini sukses di bidang wisata, khususnya bagi yang ingin melihat Machu Picchu nya Euroasia. Sebuah istana di atas gunung.

ilustrasi



Partai Bulan Bintang DPC Labuhanbatu Sumatera Utara membuka pendaftaran balon Pilkada 2020.

Pendaftaran dibuka dari tanggal 02-16 Desember 2019.

Partai yang dipimpin Yusril Ihza Mahendra ini membuka kesempatan untuk umum.

FREE WORLDWIDE SHIPPING

BUY ONLINE - PICK UP AT STORE

ONLINE BOOKING SERVICE